Google

Wednesday, November 19, 2008

Blunder Seputar Royalti Batu Bara

SEJAK awal Agustus 2008 ini, dunia pertambangan nasional sedang mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan baik pengamat, praktisi, maupun akademisi, tak luput pula masyarakat awam banyak yang ikut nimbrung dalam pusaran isu mengenai perbedaan pendapat terkait dengan pembayaran royalti antara pemerintah dan beberapa pengusaha pertambangan.

Perbedaan pendapat antara pengusaha tambang dan pemerintah semakin meruncing tatkala pengusaha meminta pemerintah mengompensasi tunggakan royalti dengan merestitusi pajak pertambahan nilai (PPN). Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batu bara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono mengatakan royalti dan PPN adalah dua hal yang sama. "Sama-sama berbentuk rupiah dan masuk ke penerimaan negara."

Dalam kontrak, pemerintah juga disebutkan hanya satu atau tidak dipisahkan antara Departemen Keuangan serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sementara itu versi pemerintah, royalti merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang jadi kewenangan Departemen ESDM, sedangkan PPN adalah pajak yang dipungut Depkeu. Dalam Surat Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM Nomor 2162/84/DJG/2001 pada 18 September 2001 ke Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan disebutkan, PPN yang tidak bisa direstitusi akan dibebankan kepada pemerintah dengan memotong dana hasil produksi batu bara (DHPB) senilai 13,5%. Akibatnya, mengurangi royalti bagian pemerintah pusat dan daerah.

Lalu, Surat Menko Perekonomian Nomor S-105/Menko/II/2001 pada 26 Desember 2001 yang meminta Menteri Keuangan menunda penerapan PPN karena belum ada aturan lanjutan PP Nomor 144/2000 yang mengatur pembayaran restitusi.

Dalam Surat Menkeu pada 14 Mei 2003 juga disebutkan sedang disusun mekanisme penggantian restitusi dan 11 Juni 2003 telah dibentuk timnya. Penafsiran versi Depkeu beda lagi. Dirjen Pajak Depkeu Darmin Nasution menyatakan pemerintah tidak punya utang pembayaran restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) batu bara kepada kontraktor tambang generasi I.

"Dengan berlakunya PP 144 Tahun 2000, kontraktor generasi I tidak lagi memungut PPN atas penyerahan batu bara dalam negeri dan tidak lagi meminta restitusi PPN atas ekspor batubara. Sejak 2001 hingga kini memang tidak ada kontraktor yang mengajukan restitusi PPN," kata Darmin.

Berdasarkan kontrak pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi I yang ditandatangani sebelum 1 April 1985 itu, kontraktor wajib membayar pajak perseroan, pajak pemotongan/pemungutan, ipeda, pajak penjualan (PPn) atas jasa yang diserahkan kepada kontraktor dengan tarif maksimum 5%, bea meterai, dan cukai untuk produk tembakau dan minuman keras.

Pada 1984, digulirkan reformasi perpajakan, antara lain dengan diundangkannya UU Nomor 8/1983 tentang PPN dan PPnBM. Dalam penjelasan UU itu dinyatakan bahwa pajak penjualan dengan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN) diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan (PPn) yang berlaku saat ini. Dua kutub berbeda kepentingan itu telah duduk bersama. APBI yang difasilitasi Kadin telah bertemu tiga Dirjen Depkeu, yakni Pajak, Piutang Negara, dan Anggaran. Perlu ada solusi segera agar pendapatan negara tetap terjaga, lalu para pengusaha juga mendapatkan kepastian dan jaminan kelangsungan usaha di masa mendatang.



Merusak iklim investasi

Tidak segera terselesaikannya polemik mengenai royalti batu bara ini hanya akan mencoreng wajah dunia pertambangan nasional dan semakin menunjukkan kelemahan pemerintah di dalam mengelola sumber daya alam nasional. Polemik yang sudah beberapa pekan menjadi isu hangat di media masa ini berpotensi merusak iklim investasi dan citra sektor investasi di Indonesia khususnya sektor pertambangan.

Menghadapi persoalan ini, pemerintah dituntut segera mencari formula penyelesaian yang bisa mengakomodasi kepentingan seluruh komponen yang ada baik kepentingan pemerintah sendiri, pengusaha, maupun kepentingan rakyat semua harus mampu menyadari bahwa objek eksplorasi tersebut merupakan aset nasional dan melingkupi kepentingan semuanya.

Jika kasus ini hanya merupakan perbedaan dalam penafsiran, yang menurut versi pemerintah royalti merupakan pendapatan negara yang bukan termasuk ke dalam kategori pajak, sementara kalangan pengusaha berpendapat keduanya adalah sama, untuk meluruskannya, keduanya bisa meminta pendapat ahli.

Dari situ nanti akan terlihat mana yang benar dan mana yang salah atau jika dimungkinkan perlu dibentuk tim khusus untuk melakukan penyelidikan mengenai ada tidaknya unsur melawan hukum dalam kasus tersebut, mengingat hal itu terjadi sudah sejak 2001. Hal itu demi terselenggaranya operasional pemerintahan yang berlandaskan pada prinsip good governance and good governance.

Bukan saja itu merupakan tugas dan kewajiban pemerintah, melainkan karena ini menyangkut kedaulatan ekonomi rakyat yang dijamin di dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan aturan dasar yang menjadi pedoman pemerintah dalam menjalankan operasional kenegaraan.

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan komitmen untuk tegaknya kedaulatan ekonomi secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 33 UUD 1945:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selain sebagai norma dasar, UUD 1945 adalah acuan bagi pemerintah dalam membuat dan menerbitkan produk-produk regulasi. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pedoman bagi pemerintah dalam penyusunan regulasi yang berhubungan langsung dengan ekonomi rakyat dan pengelolaan sumber daya alam nasional. Dengan kata lain pemerintah tidak dibenarkan membuat aturan hukum yang bertentangan dengan konstitusi.

Mengingat pengusahaan sektor pertambangan ini sangat erat keterkaitannya dengan kebijakan pemerintah, maka perlu ditelusuri secara mendalam ada tidaknya keterlibatan pemerintah dalam kasus tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan melihat data mengenai awal mulainya penunggakan royalti batu bara itu. Jika dalam pemberitaan media disebutkan bahwa penunggakan royalti sudah mulai sejak 2001, itu perlu dimintai keterangan. Hal itu ditujukan untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus yang merugikan negara tersebut.

Pengelolaan energi nasional erat kaitannya dengan ketahanan energi nasional. Keterkaitan pertama antara pengelolaan energi nasional dan amanat konstitusi UUD 1945 yakni, dalam pasal 33 ayat 2 dan 3, yaitu bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak diamanatkan untuk dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga diamanatkan untuk dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Energi jelas merupakan cabang produksi yang penting dan sumbernya pun jelas berasal dari kekayaan alam Indonesia. Untuk itu, penekanan dari klausul dikuasai oleh negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ini, pada hakikatnya merupakan ruh dari Pasal 33 UUD 1945 terkait dengan pengelolaan energi tersebut.

Kasus ini akan menjadi ujian bagi pemerintah mengenai seberapa besar tanggung jawabnya dalam merespons permasalahan yang menyangkut hak-hak dasar rakyat Indonesia, serta berapa kuat komitmennya untuk membela apa yang menjadi hak negara dan hak seluruh rakyat.



Oleh Suyanto, Media Analis Indosolution

No comments: